Sabtu, 16 Juni 2012

Anak Jalanan


Dewasa ini, perkembangan pembangunan sepertinya tidak mengalami kenaikan yang sistematis, artinya tidak merata pada semua kalangan. Pada keadaan ekonomi saat ini, pepatah yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin terlihat juga semakin jelas dan nyata.
       Hal itu pasti terdapat dampak positif dan negatif yang semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha-usaha yang lebih untuk mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya.
       Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya wilayah perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan memang jelas terlihat dibandingkan wilayah pedeesaan, namun dalam keberhasilannya, hal itu mengundang arus urbanisasi yang berdampak dengan kemunculan gepeng-gepeng yang disebabkan persaingan yang ketat antara penduduk, baik dalam lahan pekerjaan maupun pemukiman.
       Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat terkait dengan masalah keamanan dan ketertiban. Dengan berkembangnya gepeng, maka akan berpeluang munculnya gangguan tersebut, yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu, dan cita-cita nasional tidak dapat diwujudkan.
       Gepeng tampaknya tetap menjadi masalah dari tahun ke tahun, baik wilayah penerima (perkotaan) maupun wilayah pengirim (pedesaan), walaupun upaya-upaya penanggulangannya sudah dilaksanakan secara terpadu di wilayah penerima dan pengirim. Setiap saat pasti ada sejumlah gepeng yang terkena razia dan dikembalikan ke daerah asal setelah melalui pembinaan.
       Menurut data secara nasional, sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 terjadi peningkatan gepeng secara tajam.
1.       Tahun 2002  : 85.294
2.       Tahun 2004  : 87.356
3.       Tahun 2006  : 68.648
4.       Tahun 2007  : 61.090
5.       Tahun 2008  : 60.226
6.       Tahun 2009  : 88.781
       Banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis ternyata juga dipengaruhi waktu-waktu tertentu, contohnya pada Bulan Puasa keberadaan gepeng lebih banyak dibandingkan bulan-bulan biasa. Itu mungkin karena dipengaruhi suatu kepercayaan yang didasarkan pandangan Agama Islam merupakan Bulan Suci, dimana semakin banyak orang bersedekah, maka semakin dilipat-gandakan amalnya. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para pengemis, bahkan mereka sengaja meninggalkan kampung halamannya demi meraup rupiah sebanyak-banyaknya tanpa harus bekerja keras.
       Umumnya mereka sengaja datang ke Kota secara terorganisir melalui para calo yang sudah lebih dahulu tinggal di Kota, yang tanpa mereka sadari justru memanfaatkan sebagian besar uang hasil mengemisnya tersebut untuk kepentingan para calo sebagai “harga” karena telah mendatangkan mereka ke Kota.
       Yang sangat miris sekali, diantara mereka kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah. Mereka diperbudakan untuk mengais rezeki dengan cara mengemis atau mengamen. Hal itu membuat masa depan anak-anak tersebut menjadi suram dan pada akhirnya berimbas pada perkembangan pikologinya.
       Inilah sekelumit nasib anak Indonesia. Sangat memilukan ketika melihat banyak anak-anak generasi bangsa yang menghabiskan waktunya di jalanan, bukan belajar di sekolah dan bermain bersama teman-teman sebayanya. Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Yang pasti anak-anak tersebut tidak meminta dilahirkan untuk menjadi pengemis.
       Umumnya mereka berasal dari keluarga yang ekonominya rendah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar belakang kehidupan yang erat dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang dari orang tua ataupun keluarga (broken home). Kasus-kasus kekerasan pun sering dialami oleh anak jalanan, sehingga hal ini akan membebani dan mengganggu kejiwaannya hingga membuatnya dapat berperilaku negatif. Oleh karena itu, anak jalanan dapat dikatakan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental, dan sosialnya bahkan nyawa mereka.
       Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, secara tidak langsung kita telah ikut berperan menjadikan anak-anak sebagai korban. Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga, komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak becus mengurusi rakyat.
       Anak-anak itu seharusnya mendapatkan pendidikan penuh untuk proses perkembangan fisik dan mentalnya. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Mereka tak cukup diberi makan dan minum saja, atau hanya dilindungi di sebuah rumah. Kasih sayang juga harus diberikan, karena hal itu merupakan fundamen pendidikan.
       Pendidikan pada hakekatnya bertujuan untuk membentuk karakter anak menjadi baik. Khusus untuk anak jalanan, pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah rumah singgah, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan.
       Rumah singgah sepertinya merupakan solusi bagi arah perkembangan mereka. Di sana dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan, rehabilitasi, dan sebagai akses pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dll. Namun program ini seyogyanya harus benar-benar dijalankan dengan baik, artinya perlu adanya kerjasama dari semua kalangan agar program tersebut dapat mencapai kesuksesan, selain dari Pemerintah pun sedang berusaha mencegah dan menertibkan keberadaan mereka tersebut.
       Adapun kepada masyarakat umum dihimbau agar menyalurkan bantuan/sedekah hendaknya melalui mesjid-mesjid, yayasan sosial/yatim piatu atau badan-badan sosial yang lebih nyata atau pasti tersalurkannnya bantuan itu kepada pihak-pihak yang lebih tepat membutuhkan uluran tangan/sedekah. Sehingga dengan cara itu diharapkan dapat membawa perubahan juga terhadap jumlah mereka. Jika kita terus-terusan membiasakan “memberi” mereka, secara tidak langsung kita telah mendukung mereka untuk bermalas-malasan atau tidak mau bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar