Dewasa
ini, perkembangan pembangunan sepertinya tidak mengalami kenaikan yang
sistematis, artinya tidak merata pada semua kalangan. Pada keadaan ekonomi saat
ini, pepatah yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin terlihat juga semakin jelas dan nyata.
Hal itu pasti terdapat dampak positif dan
negatif yang semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu
diperlukan usaha-usaha yang lebih untuk mengembangkan dampak positif
pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya.
Gelandangan dan pengemis (gepeng)
merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya wilayah perkotaan.
Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan memang jelas terlihat
dibandingkan wilayah pedeesaan, namun dalam keberhasilannya, hal itu mengundang
arus urbanisasi yang berdampak dengan kemunculan gepeng-gepeng yang disebabkan
persaingan yang ketat antara penduduk, baik dalam lahan pekerjaan maupun
pemukiman.
Masalah umum gelandangan dan pengemis pada
hakikatnya erat terkait dengan masalah keamanan dan ketertiban. Dengan
berkembangnya gepeng, maka akan berpeluang munculnya gangguan tersebut, yang
pada akhirnya akan mengganggu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu,
dan cita-cita nasional tidak dapat diwujudkan.
Gepeng tampaknya tetap menjadi masalah
dari tahun ke tahun, baik wilayah penerima (perkotaan) maupun wilayah pengirim
(pedesaan), walaupun upaya-upaya penanggulangannya sudah dilaksanakan secara
terpadu di wilayah penerima dan pengirim. Setiap saat pasti ada sejumlah gepeng
yang terkena razia dan dikembalikan ke daerah asal setelah melalui pembinaan.
Menurut data secara nasional, sejak tahun
2002 sampai dengan tahun 2009 terjadi peningkatan gepeng secara tajam.
1.
Tahun 2002 : 85.294
2.
Tahun 2004 : 87.356
3.
Tahun 2006 : 68.648
4.
Tahun 2007 : 61.090
5.
Tahun 2008 : 60.226
6. Tahun
2009 : 88.781
Banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis
ternyata juga dipengaruhi waktu-waktu tertentu, contohnya pada Bulan Puasa
keberadaan gepeng lebih banyak dibandingkan bulan-bulan biasa. Itu mungkin
karena dipengaruhi suatu kepercayaan yang didasarkan pandangan Agama Islam
merupakan Bulan Suci, dimana semakin banyak orang bersedekah, maka semakin
dilipat-gandakan amalnya. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh para pengemis,
bahkan mereka sengaja meninggalkan kampung halamannya demi meraup rupiah
sebanyak-banyaknya tanpa harus bekerja keras.
Umumnya mereka sengaja datang ke Kota
secara terorganisir melalui para calo yang sudah lebih dahulu tinggal di Kota,
yang tanpa mereka sadari justru memanfaatkan sebagian besar uang hasil
mengemisnya tersebut untuk kepentingan para calo sebagai “harga” karena telah
mendatangkan mereka ke Kota.
Yang sangat miris sekali, diantara mereka
kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah. Mereka diperbudakan untuk mengais
rezeki dengan cara mengemis atau mengamen. Hal itu membuat masa depan anak-anak
tersebut menjadi suram dan pada akhirnya berimbas pada perkembangan pikologinya.
Inilah sekelumit nasib anak Indonesia.
Sangat memilukan ketika melihat banyak anak-anak generasi bangsa yang
menghabiskan waktunya di jalanan, bukan belajar di sekolah dan bermain bersama
teman-teman sebayanya. Siapa yang patut disalahkan dalam hal ini? Yang pasti
anak-anak tersebut tidak meminta dilahirkan untuk menjadi pengemis.
Umumnya mereka berasal dari keluarga yang
ekonominya rendah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar belakang
kehidupan yang erat dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang
dari orang tua ataupun keluarga (broken home). Kasus-kasus kekerasan pun sering
dialami oleh anak jalanan, sehingga hal ini akan membebani dan mengganggu
kejiwaannya hingga membuatnya dapat berperilaku negatif. Oleh karena itu, anak
jalanan dapat dikatakan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam
perkembangan fisik, mental, dan sosialnya bahkan nyawa mereka.
Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan
akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, secara
tidak langsung kita telah ikut berperan menjadikan anak-anak sebagai korban.
Sebenarnya anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga, komunitas
jalanan, dan korban kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak becus mengurusi
rakyat.
Anak-anak itu seharusnya mendapatkan
pendidikan penuh untuk proses perkembangan fisik dan mentalnya. Sebab, anak
bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan
berbeda dengan orang dewasa. Mereka tak cukup diberi makan dan minum saja, atau
hanya dilindungi di sebuah rumah. Kasih sayang juga harus diberikan, karena hal
itu merupakan fundamen pendidikan.
Pendidikan pada hakekatnya bertujuan
untuk membentuk karakter anak menjadi baik. Khusus untuk anak jalanan,
pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran
yang dilaksanakan dalam wadah rumah singgah, dimana anak-anak bertemu untuk
memperoleh informasi dan pembinaan.
Rumah singgah sepertinya merupakan solusi
bagi arah perkembangan mereka. Di sana dapat dijadikan sebagai tempat
perlindungan, rehabilitasi, dan sebagai akses pelayanan sosial seperti
pendidikan, kesehatan, dll. Namun program ini seyogyanya harus benar-benar
dijalankan dengan baik, artinya perlu adanya kerjasama dari semua kalangan agar
program tersebut dapat mencapai kesuksesan, selain dari Pemerintah pun sedang
berusaha mencegah dan menertibkan keberadaan mereka tersebut.
Adapun kepada masyarakat umum dihimbau
agar menyalurkan bantuan/sedekah hendaknya melalui mesjid-mesjid, yayasan
sosial/yatim piatu atau badan-badan sosial yang lebih nyata atau pasti tersalurkannnya
bantuan itu kepada pihak-pihak yang lebih tepat membutuhkan uluran
tangan/sedekah. Sehingga dengan cara itu diharapkan dapat membawa perubahan
juga terhadap jumlah mereka. Jika kita terus-terusan membiasakan “memberi”
mereka, secara tidak langsung kita telah mendukung mereka untuk
bermalas-malasan atau tidak mau bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar